Feeds:
Posts
Comments

Archive for June 30th, 2017

Lee Colan pernah menulis artikel bertajuk T.H.I.N.K. Before You Speak di majalah Inc. pada 26 Maret 2014. Sebenarnya ini bukan murni idenya Lee karena pada artikel itu ia mengatakan bahwa ia mendapatkan poster THINK dari saudara perempuannya yang juga merupakan guru SMA. Memang kalau kita browse di internet akan kita temui betapa banyaknya poster THINK bertebaran sehingga kita sulit mengenali siapa pencetus aslinya. Namun, tak masalah asal kita (termasuk saya) memahami bahwa kerangka THINK ini jelas bukan gagasan saya namun sangat bermanfaat dalam memulai kita berinteraksi dengan orang lain baik dalam perilaku maupun dalam komunikasi menggunakan media email maupun media sosial lainnya.

Mengapa saya tertarik menggunakan ini sebagai kerangka?

  1. Sederhana karena berupa singkatan yang sekaligus bahasa Inggris yang memiliki arti “Pikirkan terlebih dulu”. Artinya, sebelum kita melakukan apa-apa sebaiknya kita rencanakan terlebih dahulu baik itu berupa lisan maupun tulisan maupun perilaku. THINK Before You Speak. Makna “speak” pun bisa diartikan sebagai interaksi. Atau bisa dikatakan: THINK Before You Interact.
  2. Singkatan THINK mudah diingat. Aslinya memang THINK ini ditujukan untuk menguji apakah suatu berita itu palsu (hoax) atau bukan; karena hal ini merebak di medsos dimana ada beberapa orang yang sekedar menyebarkan berita dengan “share” tanpa mengecek kebenarannya terlebih dulu. Namun ketika saya pikirkan lebih mendalam, bisa digunakan untuk hal lain yang lebih luas. Singkatan THINK tersebut adalah:
    • T – is it true (apakah benar)?
    • H – is it helpful (apakah bermanfaat)?
    • I – is it inspiring (apakah inspiratif)?
    • N – is it necessary (apakah diperlukan / dibutuhkan)?
    • K – is it kind (apakah sopan / ramah)?
  3. Bisa menjadi filter yang bagus dalam menerencanakan setiap interaksi kita dengan orang lain. Ingat, seorang yang profesional tak hanya ahli di bidangnya yang sifatnya teknis (misalnya ahli elektronik, mekanik, montir, perawat, pialang saham, broker, konsultan dsb.) namun ia juga harus bisa connect dengan orang lain dan orang lain tersebut nyaman berinteraksi dengan kita.
  4. Mewakili semua yang diperlukan seorang profesional tulen yaitu: selaras (saat menjawab True?), mampu (saat menjawab helpful) dan memberi semangat yang memotivasi orang lain (saat menjawab : inspiring?, necessary? dan kind?)

Dalam contoh teknisi AC yang pernah mengunjungi rumah saya, mari kita gunakan THINK ini bila kita bertindak sebagai salah satu dari tiga teknisi tersebut:

True? Apakah benar bila kita menghadapi situasi dimana pelanggan mengalami kerusakan AC kemudian kita menawarkan jasa diri kita memperbaiki dengan transaksi di luar jalur resmi perusahaan? Jelas salah karena sudah digaji perusahaan AC dan menggunakan seragam perusahaan AC dimana identitasnya ya mewakili perusahaan AC tersebut. Bagaimana agar benar? Tawarkan solusi dengan jalur resmi, dengan berkoordinasi dengan bagian gudang tentang pengiriman sparepart yang lebih cepat. Bila pelanggan menyetujui waktunya, bisa jadi pelanggan keberatan harganya. Dalam hal ini teknisi tak bisa berbuat apa-apa karena biasanya pricing sudah ditentukan oleh perusahaan. Namun sebenarnya masih bisa dilakukan koordinasi internal agar ada potongan harga. Andaikan tak bisa, teknisi seharusnya mampu menjelaskan ke pelanggan mengapa harganya mahal – artinya pelanggan mendapatkan barang baru dan asli (original) dari merek AC. Kalaupun mentok karena saya sebagai pelanggan keberatan membayar sebesar Rp. 700 ribu per unit, mungkin saya akan menggunakan jasa orang lain yang menurut saya bisa mereparasi PC Board secara parsial (bukan mengganti keseluruhan PC Board). Kalau pelanggan menghendaki demikian maka teknisi tak boleh menawarkan diri secara personal. Haram hukumnya karena ia sudah menyalahi amanah sebagai pegawai perusahaan AC tersebut. Namun, ia bisa mengusulkan ke Manajemen pabrik AC akan perlunya membuka service station yang mereparasi PC board secara parsial dengan mengganti beberapa komponen nya saja, bukan diganti penuh. Dengan cara ini mungkin harganya bisa jauh lebih ditekan lagi bila perusahaan mau.

Helpful? Mungkin kalau tak terjadi kesepakatan memang jadinya pelanggan tak melihat teknisi tersebut membantu menyelesaikan masalah. Namun, sekurangnya teknisi tersebut punya martabat yang sekaligus mengangkat branding perusahaannya. Namun, bisa juga pelanggan (saya) merasa dibantu bila tiga teknisi tersebut bisa merekomendasikan service station (pihak ketiga) yang bisa mereparasi PC board AC saya tersebut. Sebagai profesional memang sebaiknya begitu – namun tak boleh merekomendasikan bengkel yang dia punya hubungan bisnis (ada aspek finansial setelah merekomendasikannya). Teknisi mampu mengidentifikasi bahwa yang rusak adalah PC board saja bagi saya sudah sangat bermanfaat (helpful) sekurangnya meringankan beban saya untuk mencari penyebabnya karena memang saya bukan ahli AC.

Inspiring? Tentu. Karena perilaku yang tegas dan lugas mewakili perusahaan akan meningkatkan martabat teknisi dan secara langsung mempengaruhi brand equity dari pabrik AC tersebut. Pelanggan semakin yakin bahwa perusahaan tersebut memang profesional sehingga karyawannya tak ada yang “main belakang”. Salah satu dari tiga teknisi tersebut sebenarnya masih yunior atau mungkin sebenarnya seorang Trainee dari perusahaan tersebut. Perilaku profesional para seniornya tentu akan memberikan inspirasi positif bagi dirinya yang masih muda beliau dan perlu banyak belajar. Justru bila diberi contoh penyalah-gunaan jabatan atau tindakan koruptif lainnya akan berdampak negatif terhadap anak muda yang Trainee tersebut. Jadi jelas, perilaku profesional para senior akan memberikan inspirasi positif bagi karyawan lainnya yang lebih yunior.

Necessary? Artinya apakah perlu seorang teknisi melakukan hal yang profesional yang tak terbatas hanya pada kemampuan teknis? Jelas perlu sekali. Pertama untuk memberikan kepercayaan pelanggan bahwa perusahaan tersebut peduli sekali mempertahankan cita baik perusahaan dengan memaskitkan karyawan yang berperilaku profesional. Kedua, dari perusahaan AC tersebut hal ini jelas membantu menegakkan nilai-nilai budaya kerja yang positif karena karyawannya (para teknisi tersebut) selalu memegang teguh janjinya sebagai wakil dari perusahaan, bangga mewakili merek AC dari perusahaan tersebut. Selain itu juga tidak ada kerugian finansial terkait karyawan yang “ngobyek” di dalam jam kerja atau biasa disebut dengan “moonlighting”. Ini jelas buka budaya yang baik, makanya perlu ditegaskan adanya perilaku integritas dari karyawannya. Ketiga, bagi karyawan yang berperilaku profesional akan melatih-dirinya bahwa dalam menjalankan keahlian teknisnya perlu penegakan nilai-nilai etis yang berlaku umum, yakni tak mengambil keuntungan dari tugas yang sudah menjadi tanggung-jawabnya. Bila ia selalu berprinsip seperti ini, ke depannya ia menjadi seorang pemimpin sejati : principle-centered leader! Seorang pemimpin yang berprinsip kokoh dan tangguh.

Kind? Sebenarnya dalam kasus teknisi AC, sudah tak perlu lagi diuji terkait kesopanan (keramahan) karena bila ia tegar memberi solusi menggunakan bendera perusahaannya maka sudah bisa dipastikan kesopanannya.

Surat Elektronik Yang Menggemparkan

Dalam kasus lain, saya ingin berbagi tentang pengalaman pribadi saya ketika suatu saat beberapa tahun yang silam saya berperan sebagai Team Leader dari tim reformasi birokrasi yang diperbantukan pada salah satu kementerian. Salah satu tugas tim adalah memastikan program reformasi berjalansesuai dengan yang direncanakan. Semua proses maupun perilaku yang sifatnya memperlambat pelayanan akan dipangkas habis. Salah satu yang kunci adalah perlunya keteladanan dalam melakukan sesuatu yang ditunjukkan oleh pimpinan yaitu jajaran eselon 1 nya. Pada saat itu ada beberapa program utama terkait keteladanan yang harus dicontohkan segera oleh Pimpinan. Saya dibantu oleh beberapa anggota tim yang pada saat itu ada sekitar 10 orang. Kami sering berdiskusi baik secara tatap-muka di Rumah Reformasi sebagai kantor kami maupun melalui media elektronik termasuk surat elektronik atau BBM. Pada saat itu WA masih belum populer.

Pada suatu hari, terjadilah kehebohan terkait surel internal yang sebenarnya hanya untuk sirkulasi internal antara anggota Tim Reformasi Birokrasi. Salah seorang anggota kami melakukan forward dari diskusi internal kami ke salah satu Pejabat di kementerian tersebut. Maksudnya tadinya sekedar memberi info ke Pejabat (katakanlah Pejabat A) tersebut bahwa kami sedang menggodok bagaimana agar program keteladanan yang kami usulkan bisa berjalan. Karena awalnya adalah diskusi internal tentu ada juga beberapa komentar terkait perilaku beberapa pejabat yang masih belum reformis – namun ini buat konsumsi internal tim kami. Saya termasuk yang mengupas perilaku non reformis dari beberapa pejabat berdasarkan interaksi kami dengan pejabat-pejabat yang bersangkutan. Saya sempat kaget karena pejabat A tersebut ikut berdiskusi dalam forum yang tadinya bersifat internal. Namun beliau untungnya tak menunjukkan sikap yang menentang justru mendukung.

Kehebohan kemudian terjadi ketika Pejabat A tersebut memforward lagi surel tersebut ke Pejabat B untuk mendapatkan konfirmasi tentang beberapa hal lain yang sebenarnya tak terkait subyek bahasan. Karena antara subyek surel dengan isinya tidak nyambung maka sangat wajar pejabat B kemudian menelusuri rantaian surel di bawahnya dan betapa ia terkejut ketika di situ dibahas beberapa perilaku negatif beberapa pejabat (sebenarnya bukan Pejabat B yang dibahas) terutama dengan komentar saya. Konon, Pejabat B ini tersinggung karena ada teman2nya yang dicap berperilaku tidak reformis. Akhirnya Pejabat B ini bercerita ke pejabat lainnya (eselon 2) tentang hal ini. Katakanlah yang diberi cerita ini Pejabat C. Saya sendiri belum tahu kisah ini, pada awalnya sampai kemudian saya dipanggil oleh Pejabat C. Pejabat C inilah yang kemudian memarahi saya karena pernah berkomentar terhadap beberapa pejabat (tidak termasuk Pejabat C) yang tidak reformis. Dikatakan bahwa saya tidak mendukung mereka secara menyeluruh.

Pada saat saya “disidang” oleh Pejabat C ini di ruang kerjanya, saya sama sekali tidak membantah dan mengakui memang saya mengatakan apa adanya. Memang yang saya komentari itu ada faktanya. Artinya, saya tidak menyanggah bahwa saya melakukan semua itu. Sebagai bentuk tanggung-jawab saya, kemudian saya menawaran diri bila saya tak dianggap mendukung, saya akan mengundurkan diri hari itu juga sebagai Team Leader. Anehnya, Pejabat C justru berbalik membaik ke saya bahwa sebenarnya yang saya lakukan tidak salah. Saya menjadi bingung sendiri. Saya berada pada situasi yag orang Jawa bilang “Ngono yo ngono ning yo ojo ngono” (Begitu ya begitu tapi ya jangan begitu – pen.) Anehnya setelah itu siatuasi berbalik bahwa saya diminta tetap sebagai Team Leader. Hal yang sama kemudian saya sampaikan juga kepada Pejabat B (yang memberi tahu ke Pejabat C) dan Pejabat A (sebagai sumber petaka karena forward email ke Pejabat B tanpa merubah subyek surel).

Apakah kemudian masalah selesai? Ternyata tidak. Kehebohan surel tersebut menjadi buah bibir beberapa orang dan akhirnya terdengar juga di telinga lembaga NGO yang menugaskan saya memimpin tim ini. Saya dipanggil oleh Direktur Eksekutifnya dan diberi wejangan bahwa yang saya lakukan salah. Tentu saya tidak dengan mudah mengatakan salah karena yang saya sampaikan adalah fakta bahwa beberapa pejabat masih berperilaku tidak reformis. Dalam situasi ini yang penting sebenarnya bukan mencari siapa yang salah karena esensi nya adalah bagaimana agar perilaku tak reformis dikikis habis. Bila ini dipermasalahkan berarti masih mempertahankan comfort zone yang ada alias tidak ada keinginan berubah. Sekali lagi untuk yang ke empat kalinya saya mengatakan ke Direktur Eksekutif tersebut bahwa saya siap diberhentikan pada saat itu juga bila dianggap saya salah. Lagi-lagi, ambigu … tidak ada yang berani memutuskan agar saya diberhentikan bahkan seorang Direktur Eksekutif LSM yang menugaskan saya sekalipun. Mungkin semuanya takut kalau saya diberhentikan nantinya akan dicari alasan mengapa saya diberhentikan dan komentar saya tentang perilaku non-reformis justru menjadi viral kemana-mana.

Dari peristiwa ini saya belajar banyak hal:

Perlunya melakukan seleksi sendiri terhadap anggota tim yang akan menjadi anggota tim saya. Memang anggota yang memforward surel tersebut bukan hasil rekrutan saya karena dia adalah “titipan” dari tim sebelumnya yang telah ada. Artinya saat saya menjadi Team Leader dia sudah ada sebagai anggota. Anehnya, dia tak pernah merasa bersalah dengan apa yang dia lakukan dan makanya tak pernah minta maaf ke saya maupun siapapun. Memang aneh dan saya menyesali perilaku dia ini meski secara hubungan kelihatannya dia orang yang baik-baik. Bisa saja dia melakukan ini dengan sengaja karena saya pernah menolak usulannya untuk berangkat ke Amerika menemani beberapa PNS yang didanai oleh kegiatan ini. Alasan saya, semua dana yang ada dari donor diperuntukkan untuk PNS karena memang yang akan kita rubah perilakunya adalah PNS bukan anggota tim saya yang memang bukan PNS dan harusnya berperan menjadikan PNS yang profesional. Sebagai Team Leader saya harus tegas karena pengelolaan dana dari donor ini harus transparan dan akuntabel. Mungkin juga karena ini dia melakukan sabotase dengan forward surel internal ke pihak luar. Namun, tetap saja salah saya kenapa saya membiarkan anggota tim yang tidak satu paham dalam tim saya.

Perlunya melihat siapa-siapa yang menjadi audience dari email dan kemudian menggunakan kerangka THINK sehingga setiap isinya akan aman dari segala macam bentuk serangan di kemudian hari. Bila saya menyadari adanya anggota yang kurang sepaham, saya lebih baik menggunakan surel secara singkat padat dan tak perlu berkomentar tentang perilaku orang (pejabat) di kementerian tersebut.

Perlunya membangun budaya coaching di kementerian sehingga setiap PNS terbiasa juga berdialog dengan orang lain meski itu juag bisa menyangkut beberapa perilakunya yang tak reformis. Ini jelas pembelajaran yang sangat berharga dan sebaiknya saya pikirkan pada saat membangun program keteladanan di kementerian tersebut. Dengan adanya budaya coaching ini maka kemungkinan pembahasan perilaku via surel menjadi tak perlu karena langsung berhadapan dengan PNS atau pejabat yang bersangkutan. Memang ini bukan hal yang mudah mengingat belum terbiasanya dialog seperti ini di kalangan PNS – meskipun tak semuanya begitu.

Kembali kepada tujuan utama mengapa saya tuliskan pengalaman ini adalah perlunya THINK Before You Speak. Kerangka THINK sangat mudah diterapkan dan sangat membantu kita menyaring hanya hal-hal penting saja yang kita rencanakan atau bicarakan.

Read Full Post »