Feeds:
Posts
Comments

Archive for November, 2017

Seorang teman memposting status “Disruption sedang nge-hit saat ini” di sebuah media sosial. Memang benar, harus saya akui kata ini paling sering diucapkan orang, bahkan termasuk saya, dan tak ada salahnya bila ada yang beranggapan bahwa ini sedang nge-hit alias ngetop. Bagi saya sendiri dari segi makna bukan merupakan hal baru karena puluhan tahun yang lalu Tom Peters – seorang management guru yang saya kagumi – sudah membuat sebuah buku yang menurut saya fenomenal yaitu Thriving on Chaos. Kata chaos sebenarnya baru pertama kali saya dengar ya dari Tom Peters ini dan pada era 90an belum begitu sering digunakan bahkan setelah buku tersebut terbit sekalipun. Kata disruptif yang kita kenal sejak sekitar satu dekade lalu sebenarnya memiliki makna yang sama atau setidaknya sejenis dengan chaos hanya saja dari segi “sebab” nya berebeda. Kalau chaos yang saat itu dikenalkan oleh Tom Peters sebagai istilah atau jargon bisnis terkait dengan cara radikal dalam memberikan layanan ke customer / client. Salah satu yang digunakan oleh Tom Peters sebagai contoh adalah gerai ritel yang namanya Nordstrom yang melakukan pelayanan pelanggan luar biasa karena pelanggan boleh mengembalikan produk yang telah dibeli dan uang kembali. Sementara disruptif yang kita kenal dewasa ini seringkali atau bahkan selalu di drive oleh teknologi — sebut saja Gojek, Bukalapak dan sebagainya.

Artinya, sejak Tom Peters menggaungkan chaos maupun sebelumnya saat ia menulis buku In Search of Excellence dunia bisnis memang selalu dituntut menjadi lokomotif perubahan apapun sebabnya dan apapun jenis sebabnya, baik itu berbau teknologi maupun bukan. Hanya saja, teknologi sekarang sudah berkembang dengan akselerasi yang kita semua tak bisa memprediksi secara akurat lagi. Namun bukan itu pokok bahasan saya kali ini. Apapun persepsi Anda tentang DISRUPTION ada yang menarik dari sebuah tulisan oleh Professor Micahel R. wade dari IMD bertajuk How disruption is redefining leadership . Dia meneropong bahwa bagaimanapun disruptive era saat ini telah dan akan mempengaruhi pola kepemimpinan. Dia memperkenalkan sebuah konsep yang disingkat HAVE (humility, adaptable, vision, engage) yang menurutnya diperlukan seorang pemimpin di era disruptif ini.

Humility (kerendahan-hati) dalam hal ini adalah sikap terbuka untuk menerima masukan dari berbagai pihak baik itu dari pelanggan (terutama), karyawan bahkan pesaing sekalipun. Hal ini tentunya tak mudah karena konsep kepemimpinan era dulu adalah seringkali diasosiasika dengan posisi lebih tinggi dari pengikutnya. Dalam konsep humility ini justru seorang pemimpin dituntut menjalankan posisinya bukan dengan perintah-dan-kendali (command and control) namun justru berani mengolah setiap masukan dari setiap penjuru manapun dimana bisnisnya beroperasi. Sifat teknologi yang akselerasinya begitu cepat tak mungkin lagi dikuasai sepenuhnya oleh seorang pemimpin. Dia harus bisa merangkul anggota timnya untuk kemudian bisa menciptakan konteks yang membuat anggota timnya inovatif dan produktif. Bayangkan saja misalnya pendiri Gojek — sudah bisa dipastikan dia tak bisa mengandalkan otaknya sendiri untuk mengembangkan aplikasi multi-guna yang dewasa ini kita kenal.

Adaptable (kemampuan beradaptasi) adalah karakteristik yang harus dimiliki oleh pemimpin saat ini dan masa mendatang. Ia harus bisa segera beradaptasi terhadap apa yang sebenarnya diinginkan pelanggan sebagai prioritas utamanya. Sebuah survey oleh PricewaterhouseCoopers (PwC) di tahun 2016 menyimpulkan bahwa pelanggan merupakan hal paling utama yang justru melakukan disrupsi. Hal ini wajar karena dengan berjalannya waktu, pelanggan menginginkan suatu yang cepat, nyaman dan aman. Ditutupnya beberapa gerai seperti Seven-11, Matahari, Ramayana, Lotus bahkan Debenheim merupakan bukti bahwa disrupsi dari sisi pelanggan terjadi begitu hebatnya, karena pelanggan lebih menyukai belanja online daripada repot datang ke toko fisik. Kepekaan terjadap needs & wants (kebutuhan dan keinginan) pelanggan sangat diperlukan dan kemudian pimpinan harus pandai menyesuaikan diri kalau ingin bisnisnya terus bertahan dan bertumbuh-kembang.

Vision menurut saya harusnya justru menempati urutan pertama dalam hal ini. Namun untuk membuat agar singkatannya HAVE maka dibuatlah ke nomer tiga. Tak masalah, namun sebenarnya ini justru yang paling penting dan awal dari segalanya. Tugas seorang pemimpin adalah melihat sesuatu yang orang lain belum melihat, apalagi meyakininya bakal terjadi. Ini memang bukan hal yang mudah karena sebagian orang mengatakan bahwa ini sama saja dengan menerawang sesuatu yang tidak jelas. Dalam bahasa gaul sehari-hari, ini ibaratnya seperti “ngecat langit”. Namun, semuanya yang ada di duia ini diciptakan dua kali, pertama di pikiran (bayangan) dan kedua baru jadi fisiknya. Bayangkan laptop yang saat itu hanya ada di benaknya seorang Steve Jobs.

Engage merupakan kualitas pamungkas yang harus dimiliki seorang pemimpin di era disruptif yang harus bisa menggugah orang lain untuk terlibat dalam perjalanan menciptakan nilai (value) untuk pelanggan. Semangat (passion) saja tidak cukup karena hanya akan menciptakan retorika bagi sang pemimpin — bisanya ngomong saja tanpa kenyataan. Namun dengan modal semangat ia memberikan daya gerak sehingga orang lain bisa ikut dengannya untuk menciptakan nilai.

Sudahkah Anda memiliki salah satu atau lebih dari HAVE?

 

Read Full Post »

« Newer Posts